Madingmu.com – Ada banyak negara demokrasi yang menjadikan pengawasan pemilu sebagai salah satu penjamin agar proses pemilu bisa terselenggara dengan baik, meskipun pengawasan tersebut tidak dilakukan oleh sebuah lembaga formal yang khusus. Pengawasan pemilu di Indonesia didelegasikan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Bawaslu dibentuk tidak lepas dari keinginan masyarakat Indonesia akan adanya lembaga formal yang mengawasi penyelenggaraan pemilu supaya berjalan baik dan tanpa kecurangan. Dikatakan dalam buku Membumikan Pengawasan Pemilu: Mozaik Pandangan dan Catatan Kritis dari Dalam oleh M Afifuddin, dapat dikatakan kehadiran Bawaslu dimaksudkan untuk menghasilkan pemilu yang baik yang bertugas khusus untuk mengawasi pemilu.
Sejarah Pengawasan Pemilu
Pada saat pemilu pertama kali di Indonesia pada tahun 1955, belum dikenal adanya lembaga pengawasan pemilu. Lembaga yang khusus melakukan pengawasan pemilu baru ada di Indonesia pada saat pemilu tahun1982. Lembaga tersebut dinamai Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu.
Dilansir dari Bawaslu Tidak Lagi Ompong tulisan Natsir B Kotten, selama pemilu era Orde Baru sejak tahun 1982 hingga Pemilu tahun 1997, Panwaslak selalu dibentuk untuk mengawal pemilu dan menjadi legitimasi Orde Baru bahwa pemilu yang diselenggarakan adalah pemilu yang demokratis di bawah pengawasan Panwaslak.
Keruntuhan Orde Baru tidak kemudian menunjukkan niatan untuk membubarkan Panwaslak. Namun, lembaga ini bertransformasi menjadi Panwaslu pada Pemilu tahun 1999. Selanjutnya pada Pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014 berubah menjadi Bawaslu.
Pengawas Pemilu Era Orde Baru
Lembaga Pemilihan Umum atau LPU (sekarang KPU) berhasil memenangkan Golkar pada Pemilu tahun 1971 selanjutnya direplikasi pada pemilu berikutnya. Alhasil pada Pemilu tahun 1977, Golkar kembali mendapat separuh lebih suara pemilih.
Akibat dari hal itu, masyarakat menggugat hasil Pemilu tahun 1977. Dukungan dari masyarakat yang dimotori gerakan mahasiswa, PDI, dan PPP, terus memprotes dan melakukan tekanan kepada Pemerintah untuk memperbaiki proses pelaksanaan pemilu.
Sebagai upaya meredam aksi protes, Pemerintah dan ABRI membentuk lembaga baru dalam struktur kepanitiaan pemilu. Lembaga ini ditetapkan melalui UU Nomor 2/1980 dan dinamakan Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu.
Meski demikian, keanggotannya dari pusat sampai daerah merupakan aparatur pemerintah yang loyal kepada Golkar, terlebih komposisinya diperkuat dengan PNS, ABRI, dan Golkar. Skema keanggotaannya memungkinkan masuknya parpol ke dalam kepanitiaan pemilu.
Menurut tulisan Surbakti dkk (2015) bertajuk Transformasi Bawaslu dalam Pengawasan Pemilu, hadirnya pengawas pemilu di Mauritania mempunyai kesamaan latar belakang sejarah dengan lahirnya lembaga pengawas pemilu di Indonesia. Keduanya adalah hasil dari tuntutan masyarakat yang disekap kekuasaan rezim militer yang kontra dengan demokrasi.
Panwaslu 1999
Reformasi tahun 1998 menandai runtuhnya Orde Baru. Meskipun Panwaslak adalah bagian dari Orba dan menjadi salah satu kekuatan pemenangan pemilu sebelumnya, lembaga ini bebas dari sentimen pembubaran.
Walaupun ada peluang besar untuk dibubarkan, para cendekia memilih mempertahankannya. Penguatan kelembagaan, organisasi, fungsi, dan keanggotaan serta kewenangan Panwaslak jadi pilihan utama pada saat itu. Maka, nama Panwaslak berganti menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Keanggotaan Panwaslu tahun 1999 di tingkat nasional sampai kabupaten/kota menurut amanat UU Nomor 3/1999 terdiri dari hakim, perguruan tinggi, dan masyarakat. Susunan keanggotaannya ditetapkan pengadilan, sedangkan Panwaslu nasional ditetapkan ketua MA.
Panwaslu 2004
Panwaslu pada Pemilu tahun 2004 diperkuat melalui UU Nomor 12/2003 dan UU Nomor 23/2003. Keduanya mengatur pembentukan Panwaslu provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
Pada era ini, Panwaslu sudah mempunyai wewenang merekrut dan mengangkat sendiri jajarannya dari tingkat provinsi sampai dengan kecamatan, meski tidak sampai level nasional.
Panwaslu juga menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima laporan dan berwenang melakukan kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu. Jika ada pelanggaran administrasi, maka Panwaslu akan merekomendasikan ke KPU/KPUD, sedangkan jika mengandung unsur pelanggaran pidana, maka akan diteruskan ke penyidik kepolisian.
Namun, partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan menjadi terkanalisasi oleh Panwaslu. Rekomendasi panwaslu atas dugaan pelanggaran juga tidak memiliki konsekuensi apa pun jika tidak dijalankan.
Panwaslu 2009
Jelang Pemilu tahun 2009, sempat ada wacana di DPR untuk tidak memasukkan Panwaslu dalam RUU penyelenggara pemilu. Wacana ini mengemuka dengan dasar keberadaan Panwaslu tidak berkontribusi besar pada pemilu dan tidak sebanding dengan dana publik yang dikeluarkan.
Meski demikian, ada juga yang mendukung agar Panwaslu tetap ada. Singkatnya, setelah perdebatan panjang, DPR memilih tetap mempertahankan Panwaslu.
Bawaslu 2014
Hal yang sama terjadi jelang Pemilu tahun 2014. Ada perdebatan apakah Bawaslu harus diperkuat atau dibentuk sebagai lembaga adhoc. DPR pun membahas RUU Penyelenggara Pemilu.
Pascar perdebatan dalam pansus RUU Penyelenggara Pemilu, keputusannya tak hanya mempertahankan Bawaslu, tetapi juga memperkuat kelembagaannya. Pada Pemilu tahun 2014 Bawaslu diperkuat dengan adanya Panwaslu provinsi yang mulanya bersifat ad hoc jadi permanen.
Follow Juga : Instagram madingmu
-- adds--> -->
Leave a comment